Repleksi
ke-6 ini dilaksanakan pada selasa
tanggal 28 Oktober 2015 jam 07.30 sampai dengan 09.10 di ruang PPG 1 gedung
FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta Prodi Pendidikan Matematika kelas B pada
matakuliah Filsafat Ilmu dengan dosen pengampuh Bapak Prof. Dr. Marsigit, MA.
MAKNA BIJAK DIRI DALAM
FILSAFAT ILMU
Pembukaan filsafat
dimulai dengan pembahasan Nihilisme dan Fallibisme, Nihilisme itu ada atau
tidaknya terikat dengan ruang dan waktu. Jika Fallibilisme itu benar adanya atau
kenyataannya seperti itu. Kemudian tidak memikirkannya secara mendalam.
Filsafat itu intensif dan bersifat radikalisme, memperjuangkan sedalam-
dalamnya. Pertanyaannya sepele, materialnya pikiran, pikiran dimaterialkan
dalam bentuk alat hitung maupun buku. Pikirannya material berarti dibentuk
dalam hukum-hukum yang terjadi. Materialnya formal adalah bentuk wadah.
Kemudian formalnya material, adalah batu peresmian. Fallibisme artinya jika
menjawab salah tetap bernilai benar. contohnya saja anak kecil jika ditanya
rumus matematika ini itu, tetapi anak kecil itu menjawab belum diajari maka
jawaban anak kecil itu "benar". Terkait dengan radikalisme,
"radik" adalah akar, tidak peduli baik maupun buruk. Metode
berfilsafat itu intensif dan ekstensif. Kata yang dimaksud cabang dari ilmu -
ilmu filsafat tersebut, karena gerak-gerik dan perilakunya sehingga seakan - akan
"radikalisme" itu negatif. Itulah yang disebut dengan stigma. Karena
itu tergantung siapa yang mengatakannya. Jika mengatakan itu terus menerus
berarti terjebak di dalam mitos, maka kita berfilsafat agar kita bisa mengubah
"mitos" menjadi "logos". Dan sebenar benar logos tidak
dalam keadaan diam. Dan tidak dalam keadaan diam, masih disintesiskan antara
tesis dan anti-tesis. Kalau di dalam "zona nyaman" itu namanya tidak
berpikir. Namun tidak mungkin bagi manusia itu tidak berpikir setiap harinya,
kita selalu menemukan sesuatu yang baru. Karena tiap kali kita melihat
matahari, tidak mungkin ada matahari yang kemarin.
Pertanyaan Pertama mengenai makna dari bijak diri,
kemudian Prof. Dr. Marsigit, Ma memberikan penjelasan sebagai berikut. Bijak diri
itu adalah sopan santun terhadap diri sendiri sesuai dengan ruang dan waktu. Misalnya
pada saat mengikuti kuliah, Dosen dan Mahasiswa harus menggunakan pakaian rapi,
sopan dan santun sesuai dengan ruang dan waktunya. Maka
sebenar- benar bijak adalah pengetahuan itu sendiri. Orang barat menganggap
orang bijak itu yang memiliki pengetahuan, semakin ke timur orang bijak itu
tidak hanya memiliki pengetahuan tetapi juga memiliki hati nurani. Maka sebenar
- benarnya bijak menurut orang barat, adalah orang yang berilmu."
Selanjutnya “Bagaiman cara orang
berilmu berpikir multidimensi?”. Manusia
itu suka maupun tidak suka dia pasti akan menembus yang namanya ruang dan
waktu. Bukan hanya manusia bisa menembus ruang dan waktu melainkan juga
tumubuhan, bebatuan, air dan udarapun menembus ruang dan waktu. Hari ini, hari
esok , dua tahun yang lalu, tidak ada benda yang takut terhadap ruang dan
waktu, semua pasti akan menembus ruang dan waktu secara dan maupun tidak sadar.
Belajar itu mengadakan dari yang mungkin ada menjadi ada, maka setiap yang ada
mewakili dunianya. Contohnya, satu kata "ayam", maka bisa dikatakan
dunia ayam bahkan bisa membuat buku yang isinya hanya tentang ayam. Setiap kau
bisa mengadakan yang mungkin ada, maka bisa meningkatkan satu level dalam
dirimu (tergantung keikhlasan)".
Adapun
pertanyaan lainnya "Mengapa pikiran itu sulit menggapai hati, dan pikiran
itu sulit untuk diungkapkan?", Beliau dengan senang hati menjawab
pertanyaan tersebut,"Dalam persoalan filsafat itu ada 2, menjelaskan apa
yang kau ketahui? yang kedua memahami apa yang ada di pikiranmu? Semua jawaban
itu tidak ada yang memuaskan karena itu bersangkut paut dengan ontologisnya, karena
manusia itu bersifat terbatas, manusia itu tidak mampu menuliskan semua
pikirannya. Tidak akan mampu memikirkan semua relung hati. Karena itulah
manusia itu bisa hidup. Perasaan dan pikiran itu lebih luas daripada laut. Hati
itu seluas ciptaan Tuhan jika dikehendaki oleh Tuhan. Kita bisa berempati
kepada semua makhluk Tuhan. Itulah keterbatasan manusia. Misal, ketika kita
berdoa, pikiran kita harus berhenti. Itulah yang dinamakan ikhlas. Doa yang
paling tinggi levelnya adalah dengan menyebut namanya Tuhan. Masalahnya,
bermilyar - milyar dirimu menyebut namaNya, belum tentu semuanya dikabulkan.
Yah tinggal bagaimana cara kita berusaha, sehingga dalam keadan apapun
disarankan untuk menyebut nama Tuhan."
"Filsafat
itu luas, maka adakah filsafat untuk orang - orang atheisme?". Beliau
menjelaskan,"Saya katakan filsafat itu diri kita masing-masing, diri kita
masing-masing itu siapa? diriku dirimu? Karena filsafat itu diriku dirimu, maka
mengambil formula bahwa filsafat itu didasari oleh spiritual sehingga tidak
melenceng dari spiritualitas masing - masing. Belum tentu mereka punya Tuhan,
filsafat itu olah pikir yang refleksif dan menjawab pertanyaan
"mengapa". Berfilsafat itu metafisika setelah yang fisik. Contohnya
jiwamu, modalmu, karyamu dst. Siapakah sebenar- benarnya saya, diberi waktu
yang banyak aku tidak bisa menyebut diri saya. Semakin ke bawah semakin plural,
semakin ke atas semakin mono, yaitu kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Semakin ke atas
adalah semakin identitas, semakin ke bawah itu kontradiksi. Maka yang
kontradiksi para daksa, yang identitas para dewa. Jangan salah paham, ayam itu
dewanya cacing, namun cacing tidak bisa melihat kesalahan ayam."