Selasa, 29 Desember 2015

MAKNA BIJAK DIRI DALAM FILSAFAT ILMU


Repleksi ke-6  ini dilaksanakan pada selasa tanggal 28 Oktober 2015 jam 07.30 sampai dengan 09.10 di ruang PPG 1 gedung FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta Prodi Pendidikan Matematika kelas B pada matakuliah Filsafat Ilmu dengan dosen pengampuh Bapak Prof. Dr. Marsigit, MA.

MAKNA BIJAK DIRI DALAM FILSAFAT ILMU
Pembukaan filsafat dimulai dengan pembahasan Nihilisme dan Fallibisme, Nihilisme itu ada atau tidaknya terikat dengan ruang dan waktu. Jika Fallibilisme itu benar adanya atau kenyataannya seperti itu. Kemudian tidak memikirkannya secara mendalam. Filsafat itu intensif dan bersifat radikalisme, memperjuangkan sedalam- dalamnya. Pertanyaannya sepele, materialnya pikiran, pikiran dimaterialkan dalam bentuk alat hitung maupun buku. Pikirannya material berarti dibentuk dalam hukum-hukum yang terjadi. Materialnya formal adalah bentuk wadah. Kemudian formalnya material, adalah batu peresmian. Fallibisme artinya jika menjawab salah tetap bernilai benar. contohnya saja anak kecil jika ditanya rumus matematika ini itu, tetapi anak kecil itu menjawab belum diajari maka jawaban anak kecil itu "benar". Terkait dengan radikalisme, "radik" adalah akar, tidak peduli baik maupun buruk. Metode berfilsafat itu intensif dan ekstensif. Kata yang dimaksud cabang dari ilmu - ilmu filsafat tersebut, karena gerak-gerik dan perilakunya sehingga seakan - akan "radikalisme" itu negatif. Itulah yang disebut dengan stigma. Karena itu tergantung siapa yang mengatakannya. Jika mengatakan itu terus menerus berarti terjebak di dalam mitos, maka kita berfilsafat agar kita bisa mengubah "mitos" menjadi "logos". Dan sebenar benar logos tidak dalam keadaan diam. Dan tidak dalam keadaan diam, masih disintesiskan antara tesis dan anti-tesis. Kalau di dalam "zona nyaman" itu namanya tidak berpikir. Namun tidak mungkin bagi manusia itu tidak berpikir setiap harinya, kita selalu menemukan sesuatu yang baru. Karena tiap kali kita melihat matahari, tidak mungkin ada matahari yang kemarin.
Pertanyaan  Pertama mengenai makna dari bijak diri, kemudian Prof. Dr. Marsigit, Ma memberikan penjelasan sebagai berikut. Bijak diri itu adalah sopan santun terhadap diri sendiri sesuai dengan ruang dan waktu. Misalnya pada saat mengikuti kuliah, Dosen dan Mahasiswa harus menggunakan pakaian rapi, sopan dan santun sesuai dengan ruang dan waktunya. Maka sebenar- benar bijak adalah pengetahuan itu sendiri. Orang barat menganggap orang bijak itu yang memiliki pengetahuan, semakin ke timur orang bijak itu tidak hanya memiliki pengetahuan tetapi juga memiliki hati nurani. Maka sebenar - benarnya bijak menurut orang barat, adalah orang yang berilmu."
Selanjutnya “Bagaiman cara orang berilmu berpikir multidimensi?”.  Manusia itu suka maupun tidak suka dia pasti akan menembus yang namanya ruang dan waktu. Bukan hanya manusia bisa menembus ruang dan waktu melainkan juga tumubuhan, bebatuan, air dan udarapun menembus ruang dan waktu. Hari ini, hari esok , dua tahun yang lalu, tidak ada benda yang takut terhadap ruang dan waktu, semua pasti akan menembus ruang dan waktu secara dan maupun tidak sadar. Belajar itu mengadakan dari yang mungkin ada menjadi ada, maka setiap yang ada mewakili dunianya. Contohnya, satu kata "ayam", maka bisa dikatakan dunia ayam bahkan bisa membuat buku yang isinya hanya tentang ayam. Setiap kau bisa mengadakan yang mungkin ada, maka bisa meningkatkan satu level dalam dirimu (tergantung keikhlasan)".
Adapun pertanyaan lainnya "Mengapa pikiran itu sulit menggapai hati, dan pikiran itu sulit untuk diungkapkan?", Beliau dengan senang hati menjawab pertanyaan tersebut,"Dalam persoalan filsafat itu ada 2, menjelaskan apa yang kau ketahui? yang kedua memahami apa yang ada di pikiranmu? Semua jawaban itu tidak ada yang memuaskan karena itu bersangkut paut dengan ontologisnya, karena manusia itu bersifat terbatas, manusia itu tidak mampu menuliskan semua pikirannya. Tidak akan mampu memikirkan semua relung hati. Karena itulah manusia itu bisa hidup. Perasaan dan pikiran itu lebih luas daripada laut. Hati itu seluas ciptaan Tuhan jika dikehendaki oleh Tuhan. Kita bisa berempati kepada semua makhluk Tuhan. Itulah keterbatasan manusia. Misal, ketika kita berdoa, pikiran kita harus berhenti. Itulah yang dinamakan ikhlas. Doa yang paling tinggi levelnya adalah dengan menyebut namanya Tuhan. Masalahnya, bermilyar - milyar dirimu menyebut namaNya, belum tentu semuanya dikabulkan. Yah tinggal bagaimana cara kita berusaha, sehingga dalam keadan apapun disarankan untuk menyebut nama Tuhan."
"Filsafat itu luas, maka adakah filsafat untuk orang - orang atheisme?". Beliau menjelaskan,"Saya katakan filsafat itu diri kita masing-masing, diri kita masing-masing itu siapa? diriku dirimu? Karena filsafat itu diriku dirimu, maka mengambil formula bahwa filsafat itu didasari oleh spiritual sehingga tidak melenceng dari spiritualitas masing - masing. Belum tentu mereka punya Tuhan, filsafat itu olah pikir yang refleksif dan menjawab pertanyaan "mengapa". Berfilsafat itu metafisika setelah yang fisik. Contohnya jiwamu, modalmu, karyamu dst. Siapakah sebenar- benarnya saya, diberi waktu yang banyak aku tidak bisa menyebut diri saya. Semakin ke bawah semakin plural, semakin ke atas semakin mono, yaitu kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Semakin ke atas adalah semakin identitas, semakin ke bawah itu kontradiksi. Maka yang kontradiksi para daksa, yang identitas para dewa. Jangan salah paham, ayam itu dewanya cacing, namun cacing tidak bisa melihat kesalahan ayam."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar