1.
Pendekatan Ontologis Untuk Memahami Matematika
Dalam kaitannya dengan matematika maka
titik pangkal pendekatan ontologis adalah mencari pengertian menurut akar dan
dasar terdalam dari kenyataan matematika. Namun kenyataan yang terdalam dari
matematika itu sebenarnya apa? Apakah kenyataan matematika dimulai dari suatu
titik nol, artinya suatu posisi di mana kita seakan-akan tidak mampu mendahului
suatu posisi kenyataan matematika sebagai yang ada? Ataukah bahwa kenyataan
matematika itu memang sudah tersedia yang senantiasa ada? Apakah kenyataan
matematika bersifat actual atau factual? Pendekatan ontologis merupakan
refleksi untuk menangkap kenyataan matematika sebagaimana kenyataan tersebut
telah ditemukan. Dalam kesadaran akan dirinya maka orang yang memikirkan
matematika adalah orang yang paling dekat dengan kenyataan matematika; dan dari
sinilah maka dia dapat memulai untuk menemukan kenyataan seluruh matematika dan
hubungan dirinya dengan matematika.
Kenyataan matematika dapat dipahami
seada-adanya dengan seluruh isi, kepadatan, otonomi dan potensi komunikasi baik
secara material, formal, normatif maupun transenden. Kesadaran ontologis
berusaha merefleksikan dan menginterpretasikan kenyataan matematika kemudian
secara implisit menghadirkannya sebagai suatu pengetahuan yang berguna dalam
pergaulan dengan orang lain serta secara eksplisit dapat dirumuskan dalam
bentuk-bentuk formal untuk mendapatkan tema-tema yang bersesuaian. Kenyataan
matematika secara implisit telah termuat bersamaan dengan mengadanya pelaku
matematika. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana merumuskan secara formal
kenyataan matematika yang bersifat implisit itu? Kemudian disadari bahwa
mengadanya diri merupakan latar belakang terakhir yang memuat segala kenyataan
matematika secara menyeluruh menjadi satu visi tentang kenyataan matematika.
Dengan demikian, pendekatan ontologis berusaha memikirkan kembali pemahaman
paling dalam tentang kenyataan matematika yang telah termuat di dalam kenyataan
diri dan pengalaman konkretnya. Meneliti dasar paling umum dari matematika
merupakan cara berpikir filsafat sebagai awal dan akhir dari refleksi kenyataan
matematika. Pendekatan ontologis bergerak diantara dua kutub yaitu pengalaman
akan adanya kenyataan matematika yang konkret dan kenyataan matematika sebagai
mengada; di mana masing-masing kutub saling menjelaskan satu dengan yang
lainnya.
Berdasarkan pengalaman tentang kenyataan
matematika maka dapat disadari tentang hakekat mengada dari kenyataan
matematika; tetapi mengadanya kenyataan matematika akan memberikan pengalaman
konkret bagi diri tentang hakekat kenyataan matematika. Oleh karena itu
pendekatan ontologis dalam memahami kenyataan matematika merupakan lingkaran
hermenitik antara pengalaman dan mengada tanpa bisa dikatakan mana yang lebih
dahulu. Pertangungan ontologis tidak dapat diberikan di muka melainkan akan
tampak melalui uraian ontologis itu sendiri, artinya kajian matematika secara
ontologis tidak dapat dimulai dengan cara menentukan definisi-definisi atau
teorema-teorema tentang kenyataan dasar matematika karena hal demikian akan mempersempit
batas-batas pemikiran dan dengan demikian akan menutup jalan pemikiran yang
lain. Jadi penjelasan ontologis tentang kenyataan matematika hanya dapat
ditampakan sambil menjalankan ontologi matematika sebagai suatu cabang filsafat
matematika.
2.
Pendekatan Epistemologis Untuk Memahami Matematika
Pertanyaan epistemologis dapat diajukan
misal dapatkah kita mendefinisikan matematika? Mendefinisikan berarti
mengungkapkan sesuatu dengan ungkapan yang lain yang lebih dimengerti. Maka
ketika kita berusaha mendefinisikan kita akan menjumpai “infinit regres” yaitu penjelasan
tiada akhir dari pengertian yang dimaksud. Tentulah hal ini tidak mungkin
dilakukan. Jika kita menginginkan dapat memperoleh pengetahuan tentang “hakekat
matematika” maka pengetahuan demikian bersifat paling sederhana dan paling
mendasar (suigeneris). Pengetahuan matematika yang demikian tidak dapat
disederhanakan lagi dan tidak dapat dijelaskan mengunakan ungkapan lainnya.
Oleh karena itu pendekatan epistemologis perlu dikembangkan agar kita dapat
mengetahui kedudukan matematika di dalam konteks keilmuan. Salah satu cara
adalah dengan menggunakan bahasa “analog”. Dengan pendekatan ini maka kita
mempunyai pemikiran bahwa “ada” nya matematika bersifat “analog” dengan “ada”
nya obyekobyek lain di dalam kajian filsafat. Jika pengetahuan yang lain kita
sebut “ide” dan berada di dalam pikiran kita, maka matematika juga dapat
dipadang sebagai “ide” yang berada di dalam pikiran kita. Jika kita berpikir
suatu pengetahuan sebagai bentuk “kebahasaan” maka kita juga dapat berpikir
bahwa matematika merupakan bentuk “kebahasaan”.
Jadi pemikiran kita tentang filsafat
umum bersifat “isomorphis” dengan pemikiran kita tentang Filsafat Matematika
dan juga filsafat-filsafat ilmu yang lainnya. Dengan kata lain, kedudukan
matematika bersifat “isomorphis” dengan pengetahuan-pengetahuan yang lain di
dalam kajian filsafat. Pertanyaan berikutnya adalah seberapa jauh peran
pertimbangan subyek di dalam usahanya untuk menjelaskan konsep-konsep
matematika; dan bagaimana kita bisa mengetahui bahwa pertimbangan demikian
bersifat benar atau tidak? Apakah pertimbangan-pertimbangan demikian memerlukan
“eviden” atau tidak. Jika “ya” maka apa sebetulnya yang disebut eviden atau
eviden matematika? Dari pertanyaan-pertanyaan ini jelas kita telah menemukan
jarak antara pertimbangan dan eviden. Immanuel Kant menjelaskan bahwa
pengetahuan kita pada umumnya dan juga pengetahuan tentang matematika merupakan
pertemuan antara pengetahuan yang bersifat “superserve” dan pengetahuan yang bersifat
“subserve”. Pengetahuan matematika yang bersifat subserve berasal dari eviden;
sedangkan pengetahuan matematika yang bersifat superserve berasal dari imanensi
di dalam pikiran kita. Menurut Kant, pertimbangan adalah tahap terakhir dari
proses berpikir; tahap terakhir inilah yang menghasilkan pengetahuan. Jadi Kant
ingin mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang pertimbangan itu sendiri.
Menurut Immanuel Kant, awal dari pengetahuan matematika adalah “kesadaran
tentang makna matematika”. Kesadaran demikian dianggap sebagai wadah dari
kenyataan matematika. Kesadaran matematika selalu bersifat bi-polar yaitu sadar
akan makna matematika. Kesadaran itu berada di akal budi kita “reason”. Maka
bila kenyataan matematika berada di dalam kesadaranku, maka pengetahuan
matematika telah berada di dalam akal budiku. Maka terdapat jarak antara isi
yaitu kenyataan matematika dan wadah yaitu akal budiku. Di dalam jarak itulah
terdapat intusi “ruang” dan “waktu”. Jadi pengetahuanku tentang matematika
berada di dalam intuisi ruang dan waktu. Seorang eksistensialis mungkin
kemudian meragukan tentang pengetahuan matematika disebabkan meragukan
eksistensi dirinya sendiri. Menurutnya pengetahuan selalu dikondisikan oleh
eksistensi pelakunya. Maka jika berbicara mengenai matematika yang nyata maka
apa pula yang nyata untuk dirinya.
Eksistensialis berpandangan bahwa
eksistensi dirinya bersifat terbuka terhadap dunia dan dunia dapat diungkapkan
melalui pertanyaan. Jadi aku adalah pertanyaanku dan matematika adalah pertanyaanku
tentang dianya di dalam diriku. Pertanyaan selanjutnya bagaimanakah kesadaran
diriku bisa menggapai kenyataan matematika? Bagaimana aku bisa membuktikan
keyakinanku bahwa aku dapat mengetahui kenyataan matematika sebagai kenyataan
yang lain dariku? Apakah kesadaranku tentang yang lain dapat dibedakan dari
kesadaranku tentang kenyataan matematika? “Pure Reason” sebagai akal budi yang
murni telah dibahas panjang lebar oleh Immanuelm Kant sebagai upaya menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas. Jika kita memulai dengan akal budi yang murni
yaitu akal budi yang masih bersih dan terbebas dari segala macam beban
kesadaran maka kita dihadapkan pada pertanyaan awal tentang hakekat matematika;
tetapi jika kita memulai dengan akal budi yang tidak murni maka kita langsung
terlibat dengan kesadaran yang lainnya selain kesadaran tentang kenyataan
matematika. Dari kontradiksi ini maka dirasakan perlunya terdapat solusi. Di
satu sisi akal budi yang murni akan menghasilkan kesadaran tentang kenyataan
matematika, yaitu sebagai kenyatan yang bersifat “a priori” namun di sisi yang
lain kita memerlukan “eviden” yang berasal dari pengalaman manusia yang
menghasilkan kenyataan matematika sebagai kenyataan “sintetik”. Jadi adanya
kenyataan matematika di dalam akal budi kita tidak bisa kita lepaskan dari
adanya eviden dari pengalaman kita. Benarlah bahwa menurut Immanueal Kant,
kenyataan matematika bersifat “sintetik apriori”.
Seorang realisme naif akan merasa aman
dengan pandangan umum bahwa matematika berada di luar dirinya baik ketika
matematika ditampilkan kepada dirinya melalui persepsi inderawi ataupun ketika
tidak ditampilkan sekalipun. Matematika yang ditampilkan oleh orang lain ada
persis, di sana, di luar dirinya yang dapat diulang dan dapat dipikirkan oleh
orang lain. Matematika yang ditampilkan dialami begitu saja, tidak ada kaitan
dengan kualitas dan keadaan dirinya serta tidak memerlukan pemikiran refleksif
dan tidak perlu dipermasalahkan keberadaannya yang ada di sana, di luar
dirinya. Matematika adalah benda di luar dirinya; saya berhadapan dengannya.
Matematika sebagai benda dapat merupakan syarat dan rintangan bagi tindakan
saya. Tindakan-tindakan saya dapat tidak sesuai dengan matematika yang ada di
sana dan saya dapat melakukan resistensi atau penolakan terhadap sifat-sifat
matematika yang ada di sana; dan saya mengakui keberadaan matematika di sana
yang bersifat obyektif yaitu benar bagi semuanya. Tetapi ketika kita harus
menentukan dan menjawab sifat-sifat dasar apakah yang dapat diungkapkan dari
kenyataan matematika yang ada di sana, maka kaum realisme naif akan mundur
selangkah karena jawabannya akan melibatkan sifat-sifat yang melekat pada
keberadaan dirinya yang ada di sini. Saya terpaksa harus membedakan antara
kenyataan diri saya yang ada disini dengan kenyataan matematika yang ada di
sana. Inilah awal dari kesadaran refleksif seorang realisme naif yang
diingatkan oleh seorang John Locke bahwa matematika yang dianggap berada di
sana tidak lain adalah sebuah ide yang berada di sini yaitu yang berada di
dalam pikiran subyek. Bahkan Berkeley menyatakan bahwa eksistensi matematika
tidak dapat dipahami kecuali dengan ide-ide; pengalaman selalu berakhir di
dalam ide-ide. Semua hal yang dianggap bereksistensi adalah apa yang kita alami
secara langsung; satu-satunya arti bagi ada adalah yang ditangkap dengan
persepsi “esse est percipi”. Maka keberadaan matematika sebagai obyek
tergantung dari keberadaanku sebagai budi.
3.
Pendekatan Aksiologis Untuk Memahami Matematika
Pendekatan aksiologis mempelajari secara
filosofis hakekat nilai atau value dari matematika. Apakah matematika sebagai
kenyataan yang bernilai atau yang diberi nilai? Apakah nilai dari kenyataan
matematika bersifat intrinsik, ekstrinsik atau sistemik? Apakah nilai
matematika bersifat pragmatis atau semantik ? Apakah nilai matematika bersifat
subyektif atau obyektif ? Apakah nilai matematika bersifat hakiki atau
sementara? Apakah nilai matematika bersifat bebas atau tergantung? Apakah nilai
matematika bersifat tunggal atau jamak? Apakah terdapat unsur keindahan di
dalam kenyataan matematika, dan bagaimana hubungan kenyataan matematika dengan
seni? Adakah tanggung jawab diri terhadap kenyataan matematika? Penyelidikan
tentang nilai-nilai yang terkandung di dalam kenyataan matematika telah lakukan
sejak filsafat kontemporer.
Menurut Hartman, nilai adalah fenomena
atau konsep; nilai sesuatu ditentukan oleh sejauh mana fenomena atau konsep itu
sampai kepada makna atau arti. Menurutnya, nilai matematika paling sedikit
memuat empat dimensi: matematika mempunyai nilai karena
maknanya,
matematika mempunyai nilai karena keunikannya, matematika mempunyai nilai
karena
tujuannya, dan matematika mempunyai nilai karena fungsinya. Tiap-tiap dimensi
nilai
matematika
tersebut selalu terkait dengan sifat nilai yang bersifat intrinsik, ekstrinsik
atau sistemik. Jika seseorang menguasai matematika hanya untuk dirinya maka
pengetahuan matematikanya bersifat intrinsik; jika dia bisa menerapkan
matematika untuk kehidupan seharihari maka pengetahuanmatematika bersifat
ekstrinsik; dan jika dia dapat mengembangkan matematika dalam kancah pergaulan
masyarakat matematika maka pengetahuan matematikanya bersifat sistemik.
Kita
dapat menggambarkan hirarkhi nilai matematika seseorang dengandiagram sederhana
sebagai berikut:
Jika
S adalah nilai matematika yang bersifat sistemik maka tentu akan memuat nilai
matematika yang bersifat ekstrinsik (E) maka S memuat E, atau dapat ditulis
secara matematis S ⊃ E.
Setiap
nilai ekstrinsik matematika pastilah didukung oleh nilai intrinsiknya (I), jadi
nilai ekstrinsik memuat nilai intrinsik, dan dapat ditulis secara matematis sebagai
E ⊃ I.
Akhirnya
hubungan antara ketiga nilai dapat digambarkan sebagai: S ⊃ E
⊃ I,
artinya,
S memuat E memuat I.
Menurut Moore di dalam Hartman,
nilai matematika dapat digunakan untuk mengembangkan pertimbangan mengenai
kapasitas matematika. Pertimbangan demikian bukanlah untuk mengetahui bagaimana
seseorang memikirkan matematika atau apa yang seseorang pikirkan tetapi untuk
mengetahui mengapa seseorang memikirkan matematika. Pertimbangan demikian akhirnya
mengarah kepada refleksi pemikiran tentang dasar-dasar dan filsafat matematika.
Pertanyaan kemudian muncul
bagaimanakah tentang sifat dari nilai matematika itu? Apakah nilai matematika
bersifat obyektif atau subyektif? Apakah nilai matematika terikat dengan latar
belakang diri, sosial, agama, suku bangsa? Interaksi sosial diantara para
matematikawan dapat memberi kesempatan untuk memproduksi tesis dan anti-tesis
konsep matematika; dan hal yang demikian dapat terjadi adanya de-konstruksi
konsep kenyataan matematika dan dilanjutkan dengan de-konstruksi nilai instrinsik
matematika. Dengan demikian tampak hubunga nilai matematika yang bersifat subyektif
dan nilai matematika yang bersifat obyektif. Jadi interaksi sosial diperlukan
agar diri dapat memperoleh nilai extrinsik atau nilai sistemik.